Dan duel pun dimulai.Mandor Kawi menyerang lebih dulu. Tinju besar melayang ke arah Saka, tapi bocah gondrong itu gesit menghindar. Dia melompat ke samping, lalu menyapu kaki Kawi dengan tendangan rendah.
Dul Latif ikut melumpuhkan arah serangan dari samping. Tapi Kawi masih kuat. Ia membanting Latif ke tanah, lalu mendorong Saka ke pagar bambu.

DISCLAIMER:
Maaf jika dalam cerita ini terdapat kesamaan nama, tokoh, tempat, atau kejadian dengan dunia nyata. Semua itu tidak disengaja. Cerita ini murni fiksi semata untuk keperluan hiburan.
Kabar kekalahan sepuluh anak buah Mandor Kawi tersebar seperti api menyambar jerami. Pasar kembali tenang, tapi bukan berarti bahaya sudah usai. Justru kini, yang datang bukan utusan—melainkan si pemilik dendam itu sendiri: Mandor Kawi.

Di tengah pasar, saat matahari hampir tenggelam dan langit memerah, terdengar derap langkah berat dan suara tongkat besi menghantam tanah.
TONG! TONG! TONG!
Orang-orang menepi. Pedagang menutup kios lebih awal. Anak-anak ditarik masuk ke rumah. Dari ujung jalan, Mandor Kawi datang sendiri. Badannya besar, jaket kulit coklat tua menempel di tubuh kekar, dan sorot matanya tajam seperti pisau.

“Bang Saka!” teriaknya keras, menggema. “Keluar kau kalau memang jantan!”
Dul Latif yang sedang mengikat domba di kandang langsung lari ke rumah Saka. “Ka, dia datang. Sendirian. Tapi sorot matanya bukan main.”
Saka hanya menaruh peci hitamnya, lalu menggulung lengan bajunya.

“Aku tunggu dia di tanah tempat Ayahku pernah berdiri.”
Lapangan pasir belakang pasar, tempat anak-anak biasa bermain bola, kini jadi arena. Saka berdiri di tengah, diapit Dul Latif dan Ipul. Orang-orang menonton dari kejauhan, tak berani mendekat. Semua diam, menanti tabrakan dua generasi: yang lama melawan yang muda.
Mandor Kawi melangkah maju. “Kau anak Juhri, ya? Pantas berani. Tapi ingat, anak tetap anak. Aku sudah makan asam garam lebih dulu.”

Saka tak menjawab. Ia hanya menatap lurus dan menggenggam batu kecil di tangannya—bukan untuk melempar, tapi sebagai simbol tanah Tara Tumpah yang harus dipertahankan.
“Kalau kau kalah,” lanjut Kawi, “Kau dan teman-temanmu pergi dari pasar. Serahkan semua. Dan aku anggap ini urusan selesai.”
Saka menjawab tenang, “Kalau kau yang kalah, jangan pernah tunjukkan wajahmu lagi di tanah ini.”

Dan duel pun dimulai.
Mandor Kawi menyerang lebih dulu. Tinju besar melayang ke arah Saka, tapi bocah gondrong itu gesit menghindar. Dia melompat ke samping, lalu menyapu kaki Kawi dengan tendangan rendah.

Dul Latif ikut melumpuhkan arah serangan dari samping. Tapi Kawi masih kuat. Ia membanting Latif ke tanah, lalu mendorong Saka ke pagar bambu.
Namun…

Saka berdiri lagi. Darah menetes di bibirnya. Ia mengatupkan rahangnya, lalu maju dengan amarah membara.
“Ayahku dikhianati orang sepertimu… dan aku tak akan diam!”
BUGG!
Bogem mentah pertama menghantam rahang Kawi.

DUGG!
Pukulan kedua menghantam ulu hati.
Kawi terhuyung. Tapi yang membuat semuanya terdiam adalah pukulan ketiga—dari arah kanan, telak menghantam mata kiri Kawi dengan keras.
BRAKK!!

Mandor Kawi jatuh tersungkur, memegangi matanya yang kini berlumuran darah. Teriakannya menggema, bukan karena kalah, tapi karena tahu… satu matanya kini tak bisa melihat lagi.
Orang-orang bersorak.
Tapi Saka hanya berdiri, menggenggam tongkatnya, tak tertawa sedikit pun.

“Ini bukan soal menang atau kalah,” katanya pelan. “Ini soal kau tak bisa lagi semena-mena di tanah kami.”
Bersambung ke Episode 6: Luka dan Legenda
klik..Comment tulis ‘LANJUT!’ dan
Tekan LIKE dan follow.. channel ini…. Terima kasih..
Sajum… “Sampai Jumpa”