DISCLAIMER:
Maaf jika dalam cerita ini terdapat kesamaan nama, tokoh, tempat, atau kejadian dengan dunia nyata. Semua itu tidak disengaja. Cerita ini murni fiksi semata untuk keperluan hiburan.

Hujan belum reda. Tapi suara langkah sepatu berat terdengar memijak tanah basah dekat musala kampung. Di balik gerimis yang makin deras, sesosok tubuh besar berselimut jas hujan hitam berdiri tegak menatap papan nama pasar rakyat Tara Tumpah. Lampu-lampu remang menyoroti wajahnya yang dipenuhi luka lama—luka yang belum tuntas.
Nama pria itu: Mandor Kawi.

Dulu, lebih dari sepuluh tahun lalu, Mandor Kawi adalah tangan kanan pemilik pasar lama. Ia ditakuti karena kejam, disegani karena uang, dan akhirnya diusir karena satu insiden: pasar lama terbakar, dan ia dituduh jadi dalangnya. Tapi ia menghilang sebelum dihukum adat.
Dan kini… dia kembali.
Di pagi yang basah, Saka duduk di pos ronda bersama Dul Latif dan dua orang teman lama: Ipul Galing—si penggila adrenalin dan pencinta ketapel, serta Tolek, anak penjual karpet yang sering dijadikan mata-mata di pasar.

“Kau yakin itu Mandor Kawi?” tanya Ipul sambil membersihkan senapan angin rakitannya.
“Aku yakin. Nenek jamu itu kenal betul suaranya. Dan ingat, dulu Ayahku pernah cerita… Mandor Kawi itu bukan sembarang preman. Dia orang yang tahu semua rahasia petak-petak tanah di pasar ini.”
Latif mengangguk serius. “Kalau dia kembali, bisa jadi bukan cuma untuk balas dendam, tapi juga untuk merebut kendali pasar dari dalam.”
Saka berdiri, matanya menyapu sekitar pos ronda. “Kalau begitu, kita harus mulai menyusun garis pertahanan. Aku gak mau ada pedagang yang disakiti. Ini tanah kita.”
“Garis pertahanan?” Ipul menyeringai. “Kau pikir kita tentara, Ka?”

“Bukan,” jawab Saka cepat. “Kita cuma anak SMP… yang tahu kapan waktunya berdiri.”
Hari berikutnya, suasana pasar mulai berubah. Ada beberapa wajah baru di sekitar kios lama. Preman-preman kecil mulai muncul, memalak uang keamanan dari tukang parkir hingga penjual kerupuk. Bang Saka tak tinggal diam.
Satu per satu, ia datangi preman-preman itu. Tak dengan amarah, tapi dengan keberanian yang membuat mereka gugup.
“Kau datang ke tanah orang, lalu mau merasa paling kuat?” kata Saka pada salah satu dari mereka.
“Aku cuma disuruh jaga,” jawab preman itu ketakutan.
“Jaga? Yang bisa jaga tempat ini, cuma orang yang kenal bau tanahnya, bukan orang bayaran.”
Dan tanpa banyak bicara, Saka membuat keputusan. Ia dan teman-temannya mulai berjaga tiap malam di pasar. Mereka masih muda, tapi kampung tahu: kalau Saka sudah bergerak, itu berarti waktunya semua orang bersatu.

Namun, Mandor Kawi tidak akan tinggal diam. Dari kejauhan, ia memantau pergerakan Saka. Ia tahu bocah gondrong itu bukan anak biasa.
“Jadi ini bocahnya si Juhri…” gumam Kawi sambil tersenyum miring. “Anaknya lebih keras kepala dari bapaknya.”
Next fart…
Bersambung ke Episode 4: Anak Juhri, Lawan yang Tak Terduga
Mau langsung lanjut ke episode berikutnya?
klik..Comment tulis ‘LANJUT!’ dan
Tekan LIKE dan follow.. channel ini…. Terima kasih..
Sajum… “Sampai Jumpa”