• Sab. Jun 14th, 2025

SANGAJI NEWS

memberikan informasi, faktual dan terpercaya

Sawala Alam Pajambon: Titik Terang dari Curug Cilengkrang, Menguak Fakta dan Merawat Warisan Alam

Bysangaji news

Mei 24, 2025

“Longsor ini adalah pengulangan dari kejadian pada 2017. Bahkan saat itu lebih parah. Tanah dan tebing sudah lama rawan karena pelapukan alami dan aktivitas pertanian seperti penanaman rumput pakan serta aliran limbah ternak. Bukan karena pembangunan wisata Arunika,” ungkap Federick Amalo.
SangajiNews.com, Kuningan – Dalam nuansa khidmat dan penuh kearifan lokal, Forum Sawala Alam Ngajaga Adat Ngariksa Jagat yang digelar oleh DPD Sundawani Wirabuana Kabupaten Kuningan pada Sabtu, 24 Mei 2025 di Bale Desa Pajambon, menghadirkan momen penting: membuka tabir kebenaran di balik bencana longsor yang melanda kawasan Curug Cilengkrang.

Forum ini menegaskan satu hal krusial—kawasan wisata Arunika bukanlah penyebab utama terjadinya longsor seperti yang ramai dibicarakan di media sosial dan sejumlah pemberitaan. Justru, forum ini menjadi ruang klarifikasi berbasis data, mengedepankan solusi dan kolaborasi.

Acara tersebut dihadiri para tokoh lintas sektor, termasuk:

  • Ketua DPRD Kabupaten Kuningan,
  • H. Rokhmat Ardiyan, MM, Anggota DPR RI Komisi VII,
  • Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Kuningan,
  • Federick Amalo, Ketua AKAR,
  • Perwakilan TNGC Wilayah Satu,
  • Akademisi dari Universitas Muhammadiyah, serta tokoh masyarakat dan undangan lainnya.

Dalam pemaparannya, Ketua AKAR, Federick Amalo, mengungkap bahwa awalnya pihaknya juga menganggap Arunika sebagai penyebab utama. Namun hasil kajian lapangan menunjukkan fakta berbeda.

“Longsor ini adalah pengulangan dari kejadian pada 2017. Bahkan saat itu lebih parah. Tanah dan tebing sudah lama rawan karena pelapukan alami dan aktivitas pertanian seperti penanaman rumput pakan serta aliran limbah ternak. Bukan karena pembangunan wisata Arunika,” ungkap Federick Amalo.

Ia menambahkan, struktur tanah yang gembur memang sudah menunjukkan gejala kerentanan sejak lama. Bahkan, hasil peninjauan membuktikan bahwa longsor tidak merusak aliran air utama maupun akses jalan ke objek wisata.

“Batu-batu besar di sekitar jalan tidak tersentuh material longsor. Ini bukti bahwa longsor hanya terjadi pada bagian tebing tertentu,” jelasnya lebih lanjut.

Namun yang tak kalah penting, tutur Federick, adalah bagaimana publik kerap terjebak dalam narasi saling menyalahkan tanpa menyentuh akar persoalan. Maka, Forum Sawala Alam hadir bukan untuk mencari kambing hitam, melainkan untuk merumuskan solusi konkret dan edukatif.

“Kini Arunika justru dilibatkan sebagai bagian dari solusi. Mereka diberi tanggung jawab untuk membangun sumur resapan, membuat biopori, dan mendukung penguatan tebing,” tambahnya.

Dalam forum ini juga mengemuka kesepakatan untuk memperkuat konservasi kawasan rawan longsor dan mendorong penggunaan lahan secara bijak.

Ketua Sundawani, Maratanza, menyampaikan pesan menyentuh tentang semangat gotong royong dalam menjaga alam:

“Ini bukan saatnya saling menyudutkan, tapi saatnya lahirkan tanggung jawab kolektif menjaga alam kita,” tegasnya dengan penuh semangat.

Forum ini menjadi perwujudan kearifan lokal sebagai jembatan antara ilmu pengetahuan, kearifan masyarakat, dan tanggung jawab moral semua pihak.

“Kerusakan alam bukan hasil dari satu pihak semata, melainkan akumulasi dari banyak faktor, termasuk pola pikir dan kelalaian bersama,” tegas salah satu akademisi yang hadir.

Sawala Alam mengajak seluruh elemen masyarakat untuk melihat musibah ini sebagai momentum penyadaran, dan menyusun langkah-langkah jangka panjang yang tak hanya menyentuh permukaan, tapi juga akar permasalahan. Dari Pajambon, suara kolektif penjaga bumi itu menggema: menyatu dalam satu tekad, untuk ngajaga alam, ngariksa jagat—demi masa depan yang lestari.


Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *