“Kami hanya ingin didengar dan diperlakukan setara. Jangan biarkan luka ini menganga lebih dalam,” tutur Bapak Bandi
SangajiNews.com, Kuningan – Di antara sunyi dan sabar, waktu seolah berhenti bagi warga Hunian Tetap (Huntap) korban bencana longsor tahun 2018 Dari Dusun Cipari Desa Margacina yang di Relokasi Ke Desa Kaduagung, Kecamatan Karangkancana. Sudah tujuh tahun lebih berlalu sejak tragedi itu mengguncang, namun infrastruktur dasar yang dijanjikan seperti jalan lingkungan dan Tembok Penahan Tanah (TPT) belum juga terlihat wujudnya.
Di balik rumah-rumah permanen yang berdiri, tersimpan harapan yang belum tergenapi. Salah satunya datang dari suara tulus Bapak Bandi, mantan Kepala Dusun Cipari, yang kini sudah menetap dan berdomisili di desa Kaduagung tak henti memperjuangkan nasib warganya.
“Kami mohon perhatian serius dari pihak-pihak yang berwenang, baik di tingkat kabupaten maupun provinsi. Ini bukan hanya soal jalan dan TPT, tapi soal keberlanjutan hidup warga yang sudah lama menunggu keadilan pembangunan,” ucap Bapak Bandi, lirih namun penuh daya juang, saat diwawancarai secara eksklusif oleh SangajiNews.com.
Saat ini, dari total 70 unit rumah yang sempat dibangun di lokasi Huntap, hanya 52 rumah yang masih dihuni. Sisanya dibiarkan kosong, sebagian karena kondisi lingkungan yang tak mendukung dan sebagian lainnya karena akses jalan yang nyaris tak bisa dilewati kendaraan.
Sujana, salah satu tokoh masyarakat Desa Kaduagung, menyuarakan hal serupa. Ia menjadi saksi hidup atas kesabaran dan ketabahan warganya yang terus berharap.
“Warga Huntap sudah lama bersabar. Kami tidak minta lebih, hanya hak dasar: akses jalan yang layak dan perlindungan tanah agar tidak terjadi longsor susulan,” ungkap Sujana, dengan sorot mata yang menyimpan kekuatan doa dan pengharapan.
Huntap tersebut sejatinya dibangun sebagai bentuk kehadiran negara dalam menyediakan tempat tinggal aman dan layak bagi penyintas bencana. Namun, tanpa infrastruktur pendukung, keberadaannya bagaikan mimpi yang belum sempurna. TPT yang dijanjikan untuk mencegah longsor susulan tak kunjung dibangun, membuat warga dihantui kecemasan setiap musim hujan tiba.
“Kami hanya ingin didengar dan diperlakukan setara. Jangan biarkan luka ini menganga lebih dalam,” tutur Bapak Bandi, menutup percakapan dengan suara yang bergetar.
Kini, mata masyarakat tertuju pada Pemerintah Kabupaten Kuningan dan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Harapan mereka sederhana: ada langkah nyata, bukan janji yang kembali tertunda. Sebab, infrastruktur bukan hanya sekadar tumpukan beton atau aspal, melainkan wujud nyata kehadiran negara yang menjamin hak dasar dan martabat rakyatnya.