Di tanah larangan ini, masa lalu tidak pernah mati—ia terus hidup dalam gerak, dalam silat, dan dalam adat yang dijaga setia oleh rakyat.
SangajiNews.com – Kuningan Nama Awirarangan kerap disalahartikan sebagai “Awirangrangan”. Namun, berdasarkan penelusuran sejarah lisan dan adat kasepuhan, nama ini berasal dari gabungan kata “Wi” (wiwitan/permulaan) dan “Larangan” (pantangan). Maka, Awirarangan dimaknai sebagai tempat permulaan yang penuh pantangan sakral, warisan masa silam yang hingga kini dijunjung tinggi oleh warganya.
Wilayah Penuh Larangan Sejak Zaman Pajajaran
Menurut kisah turun-temurun, wilayah ini pertama kali dibuka oleh para Abdi Dalem Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi (sekitar 1482–1521 M). Para utusan ini diamanatkan menyebarkan ajaran moral, menjaga hutan larangan, serta membuka permukiman baru sesuai adat kasepuhan Sunda Pajajaran.
Salah satu tokoh utama pembuka wilayah ini adalah Eyang Weri Kusuma, yang diperkirakan hidup pada awal abad ke-16. Ia dikenal sebagai pertapa sekaligus juru kunci spiritual tanah larangan yang menetapkan batas wilayah adat, dari hutan keramat, tempat ritual, hingga pangkalan silat.
“Eyang Weri Kusuma bukan hanya membuka lahan fisik, tapi juga membuka kesadaran spiritual masyarakat tentang bagaimana hidup selaras dengan alam dan aturan langit,” tutur Abah Latif, keturunan langsung dari Abah Arif, penerus Cimande generasi sekarang.
Tokoh leluhur lainnya yang turut membuka wilayah Awirarangan di antaranya: Buyut Kentuy, Karanginan, Karang Asem, Singa Merta, Singa Dinata, Buyut Kenayu, Buyut Empang, dan Eyang Tarik Kolot. Beberapa makam para leluhur tersebut masih dapat ditemukan di wilayah Awirarangan dan tetap diziarahi hingga kini.
Adat Istiadat Leluhur yang Masih Lestari
Hingga kini, masyarakat Awirarangan terus melestarikan tradisi leluhur, di antaranya:
Babarit – Syukuran atas hasil panen atau pencapaian, dengan tumpeng dan sesajen di tempat keramat.
Nyungsung – Tradisi membawa sesajen dan doa ke tempat keramat sebelum hajatan besar sebagai penghormatan kepada leluhur dan permohonan keselamatan.
Rendengan Pengantin – Prosesi adat pernikahan dengan simbol keharmonisan rumah tangga yang diridai leluhur.
Ngabarangsang – Ritual membakar cabai dan garam di atas wajan tanah liat untuk menolak gangguan tak kasat mata dan mendatangkan berkah.
PPCA: Pusaka Silat dari Bumi Awirarangan
Warisan lain yang tak ternilai adalah Pencak Silat Cimande, yang masuk ke Awirarangan melalui beberapa gelombang (pase) kedatangan.
Gelombang pertama terjadi pada tahun 1917, ketika Eyang Erin (Abah Rin) membawa ajaran Cimande dari Banten ke tanah larangan ini. Salah satu murid pertama beliau yang kemudian menjadi tokoh penting dalam perkembangan Cimande Awirarangan adalah Abah Raksa Waria Sumyuk.
Abah raksa waria sumyuk
Perjalanan para penerus Cimande selanjutnya:
Abah Marhaen (Abah Aen) – 1921
Abah Mukri – 1922
Abah Bungsu – 1930–1940
Abah Raksa Waria dan Ngabihi Wangsangga – 1942 hingga wafat
Musyawarah Sesepuh 1951: Tonggak Baru Warisan Cimande
Pada tahun 1951, setelah wafatnya Abah Raksa, digelar musyawarah adat besar yang dihadiri sesepuh dari berbagai wilayah:
Winduhaji:
Bapak Winata Ahim
Bapak Soca Armaja
Bapak Muslikan
Bapak Sarna
Citangtu:
Bapak H. Majasir
Talahab:
Bapak Suranala
Bapak Natawana
Cibinuang:
Bapak Ngabihi Utar
Bapak Kuwu Sajar
Cijoho:
Bapak Kenon
Awirarangan:
Bapak Mustari
Bapak Atma Lispan (Bapak Ipong)
Lebak Kardin:
Bapak Singa Aswari
Dalam musyawarah ini, secara mufakat ditetapkan tiga tokoh utama sebagai penerus resmi pengembangan Cimande di Awirarangan:
Bapak Arif
Bapak Madrohim
Bapak Madhari
Ketiganya menjadi pilar utama dalam pelestarian dan pengembangan ajaran Pajajaran Cimande di Kabupaten Kuningan.
Abah Arip
Lahirnya PPCA
Tahun 1973, atas prakarsa Bapak E. Madhari, didirikanlah organisasi resmi PPCA (Pencak Pusaka Cimande Awirarangan) yang terdaftar di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dua tahun kemudian, melalui Bapak Eno selaku Ketua IPSI Kuningan, dijalin kembali silaturahmi dengan Pajajaran Cimande Bogor, diwakili oleh Tubagus Mokh. Sidik dan Tubagus Mokh. Jamhari.
Infografik Eksklusif SangajiNews.com
“GARISAN LELUHUR AWIRARANGAN: Dari Eyang Weri Kusuma hingga Generasi PPCA Modern” (Tersedia di bagian bawah artikel)
“Suara dari Tanah, Suara dari Langit”
“Eyang Weri Kusuma bukan hanya membuka lahan fisik, tapi juga membuka kesadaran spiritual masyarakat tentang bagaimana hidup selaras dengan alam dan aturan langit.” – Abah Latif, keturunan langsung Abah Arif, penerus Cimande generasi sekarang
SangajiNews.com percaya: di tanah larangan ini, masa lalu tidak pernah mati—ia terus hidup dalam gerak, dalam silat, dan dalam adat yang dijaga setia oleh rakyat. Inilah suara dari tanah, suara dari langit, suara Baginda Rakyat.